Ads Right Header

Buy template blogger

Ayah Kucing yang Tak Pernah Menyerah

Gambar Ilustrasi

Cinta seorang ayah sering kali tak terlihat, tapi terasa di dalam hati. Ia rela lelah, terluka, dan berkorban, asalkan anak-anaknya bahagia. Seperti Piko, banyak ayah di dunia nyata yang mungkin diam, tapi hatinya penuh cinta.

Editor: Ricardus Jundu

pikirindu.com- Di sudut gang kecil di belakang pasar tradisional, tinggallah seekor kucing jantan bernama Piko. Piko adalah kucing berbulu abu-abu yang dulunya hidup bersama pasangannya, Luni. 

Namun sejak Luni pergi dan tak pernah kembali setelah mencari makanan, Piko harus membesarkan ketiga anak mereka sendirian: Miu si paling aktif, Ciko yang pemalu, dan Lala yang lembut dan manja.

Hari-hari Piko tak pernah mudah. Ia bukan hanya ayah yang harus mengajarkan anak-anaknya cara bertahan hidup, tapi juga harus menggantikan peran ibu yang menenangkan, mendekap, dan melindungi.

Setiap pagi buta, saat anak-anaknya masih meringkuk kedinginan di dalam kardus bekas mie instan, Piko keluar diam-diam. Ia berjalan menyusuri lorong pasar yang becek, mengendus-endus sisa makanan di bawah meja pedagang. 

Kadang ia dapat kepala ikan, kadang hanya kulit ayam. Tapi ia selalu membawa pulang sesuatu.

“Ini buat kalian, makan ya, walau cuma sedikit,” ucap Piko sambil meletakkan makanan di depan anak-anaknya yang langsung menyambut dengan mata berbinar.

Namun, tak semua hari baik. Ada hari ketika Piko pulang dengan luka cakaran karena berebut makanan dengan kucing lain yang lebih besar. Ada hari ketika perut mereka tetap kosong meski sudah berkeliling seharian. Tapi Piko selalu berkata dengan suara lembut, “Maaf ya, Nak. Hari ini ayah belum berhasil. Tapi besok, ayah pasti bawa lebih banyak.”

Anak-anaknya belajar satu hal dari Piko: cinta itu bukan tentang apa yang bisa dibeli, tapi apa yang bisa diperjuangkan.

Ketika hujan turun deras dan air mulai membanjiri gang, Piko mencari potongan kardus dan plastik bekas untuk melapisi tempat tidur kecil mereka. Ia rela basah kuyup agar anak-anaknya tetap hangat. 

Saat angin malam menggigit, ia membungkus mereka dengan tubuhnya sendiri. Meski bulunya mulai rontok dan tubuhnya kurus, Piko tak pernah mengeluh.

Sampai suatu malam, Lala mulai batuk. Awalnya pelan, lalu makin sering. Tubuhnya demam dan tak mau makan. Piko panik, tapi ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia tidak punya uang untuk ke dokter hewan, bahkan tidak tahu caranya meminta bantuan pada manusia.

Pagi itu, dengan mata berkaca-kaca, Piko meninggalkan Lala, Miu, dan Ciko di tempat persembunyian. Ia menyeberang jalan besar, menyelinap ke lingkungan perumahan yang bersih dan asing baginya. Di sana, ia menemukan sebuah rumah yang halaman depannya luas dan wangi bunga.

Dengan sisa tenaganya, ia mengeong keras di depan pagar rumah. “Meong... Meong...”

Lama ia menunggu, sampai akhirnya seorang anak perempuan bernama Alya membukakan pintu.

“Ayah! Ada kucing! Lihat, dia seperti minta tolong!” teriak Alya.

Piko mengeong lagi, lalu berjalan pelan, sesekali menoleh, seolah berkata, “Ikuti aku.” Alya dan ayahnya mengikuti Piko sampai ke tempat persembunyian anak-anaknya.

Ketika mereka melihat Lala yang lemah terbaring, Alya langsung menangis, “Kita tolong mereka, Yah...”

BACA JUGA: Kebaikan Hati Rina

Sore itu, Lala dibawa ke dokter hewan. Tubuh kecilnya diselimuti handuk hangat. Miu dan Ciko ikut dibawa. Piko duduk di pojok kandang, menatap dokter dengan penuh harap.

Hari-hari setelahnya, mereka tinggal di rumah Alya. Mereka tak lagi kelaparan, tak lagi kedinginan. Piko tak lagi harus berjuang sendirian.

Tapi setiap malam, meski kini mereka tidur di atas bantal empuk dan makan makanan lezat, Piko tetap membelai kepala anak-anaknya satu per satu dan berbisik, “Ayah sayang kalian... Terima kasih sudah kuat selama ini.” (Red.pikirindu

Previous article
Next article

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel