Cerpen: Kado Ulang Tahun, Karya Faldo Mogu
Ilustrasi (Sumber: pixabay) |
Penulis: Faldo Mogu, Editor: Ricardus Jundu
“Kau pasti akan ketar-ketir jika mendengar suaranya. Bahkan kalau tangannya sampai bermain-main, kau kupasti akan mati. Sungguh!”
Penampilannya di malam ini, sungguh melampaui segala sesuatu yang luar biasa. Mulai dari ujung rambut sampai di ujung jari-jari kaki, semua serba luar biasa. Cara berpakaian dan dandan yang aduhai itu, membuat siapa saja yang melihatnya menjadi ketar-ketir. Padahal ini malam bukan pesta besar-besaran, macam di istana negara. Tetapi cara berpakaiannya sungguh, macam di istana, bahkan melebihi yang di istana.
Entahlah, setelah beberapa hari beradu pemikiran tentang rancangan acara ulang tahun dari suaminya, pada malam ini, akhirnya mereka bersepakat untuk melakukan acara makan bersama saja dengan pakaian super luar biasa itu.
Anehnya, sang suami hanya berpakaian biasa-biasa saja. Seragam polisi yang ia pakai beserta tempelan pangkat tertinggi polri di bagian baju, menjadi warna dari appearance-nya malam ini. Entahlah, barangkali dalam rancanganya sang istri hendak menunjukan pangkat suaminya, pun sebaliknya sang suami hendak menunjukan paras istrinya. Sudah. Tak perlu bahas.
Malam ini mereka menjalankan acara tersebut di tempat yang sering disebut TAKI (Taman Kehidupan). Di sana terdapat begitu banyak bunga cantik yang menghiasinya. Pun burung piharaan mereka turut memberi warna tempat tersebut. Bahkan ketika burung-burung tersebut berkicau dengan suara uniknya masing-masing, sungguh orang-orang yang mendengarnya dipastikan merasakan surga sesungguhnya.
Bukan hanya itu tempatnya juga mengalirkan angin segar yang dirindukan oleh banyak orang di kota besar semacam Jakarta. Hal inilah yang membuat mereka memilih tempat itu, sebab konon ada cerita; siapa saja yang menjalankan acara seperti ulang tahun, di tempat semacam itu, maka mereka pasti akan berdamai dengan masa silam dan akan bahagia menjalankan hari-hari kedepannya, di usia yang baru. Mungkin itu juga menjadi alasan disebutnya tempat ini sebagai taman kehidupan.
Malam ini yang mereka undang hanya sahabat dan teman sepekerjaan saja. Namun yang datang hanya sahabat dan teman sepekerjaan suaminya saja. Sementara dari istrinya tak ada satu dua orang pun. Sebab mereka malu dan sulit berpesta dengan kaum elit yang semuanya serba elit.
“Silahkan duduk tuan-tuan, senang rasanya, ketika menerima undangan kami dan berkenan hadir kemari” tuan putri menyapa dengan suara lembut. Setelah menyapa mereka, ia dengan gaun merahnya langsung menempati tempat duduk sebelah Gelsen. Caranya mengambil posisi duduk sungguh menjadi sorotan semua tamua yang hadir. Parasnya yang amat cantik, dan didukung oleh tubuh seksi membuat mata tuan-tuan dari kepolisian menjadi terpusat padanya.
Ia dengan gaya lembut seorang wanita, perlahan-lahan dan penuh hati-hati meletakan pantat seksinya pada kursi yang telah disediakan. Kedua tangannya sengaja bersandar pada permukaan meja sambil perlahan-lahan mendaratkan pantatnya pada kursi, biar ia kelihatan seksi ketika duduk. Lantas mata tuan-tuan menjadi melotot. Apalagi Gelsen sebelahnya. Ia melihat tuan putri dengan amat tajam, mulai dari ujung kakinya, paha, pantat, dada, muka sampai pada rambut lurusnya yang amat sangat menawan.
Ulah tuan putri ini berhasil membuat Gelsen ketar-ketir. Padahal ia seringkali berjumpa dengan tuan putri dan bermain dirumahnya. Entah kenapa, perjumpaan malam ini membuatnya menilai beda dengan perjumpaan sebelumnya. Bahkan malam ini, mendengar suara tuan putri saja ia langsung semangat. Ibarat baru saja dicerahkan oleh sejuta motivasi penyemangat hidup. Apa lagi, malam ini tangan tuan putri sungguh tidak tertib sekali.
Tangannya selalu saja merayap di atas paha Gelsen, apalagi saat-saat ada satu dua lelucon yang mewarnai perbincangan mereka. Saking lucunya, tangan tuan putri bermisi kemana-mana. Walaupun tuan putri keihatannya tidak sengaja, tetapi pikiran Gelsen sudah lari dari sewajarnya. Ia berpikir tuan putri menyukainya. Melihat keramahan tuan putri terhadapnya, melampaui luar biasanya, ia pun berpikir demikian.
Padahal Gelsen tau, tuan putri sangat mencintai suaminya, Res. Betapa tidak, suaminya itu mempunyai jabatan tertinggi di polri. Tetapi ia masih saja berpikir lain. Entahlah, kecantikan tuan putri malam ini berhasil membuat hatinya ketar-ketir.
Ia jadinya menginginkan untuk mendapatkan tuan putri malam ini. Persahabatan yang telah ia lalui selama ini, kini tidak dilihat lagi. Sekarang yang ada bukan lagi persahabatan tetapi pengkhianatan. Gelsen mencintai tuan putri. Bukan hanya cinta, ia berusaha untuk mendapatkan tuan putri juga. Malam ini.
Ia berniat dan nekat untuk membongkar segala mavia dan kejahatan tersbesar pimpinan polri itu, demi mendapatkan tuan putri. Pun agar tuan putri kecewa dengan suaminya dan akhirnya memutuskan untuk cerai. Lantas hal itu akan menjadi kesempatan dan peluang baginya untuk mendapatkan tuan putri.
Sesunggunhya, untuk melakukan hal itu, bukan suatu hal yang sulit baginya. Karena sebagai sahabat ia adalah kunci utama untuk membongkar segala kejahatan tersebut.
Ia mempunyai bukti yang kuat terkait mavia pimpinan polri tersebut, sebab Gelsen adalah orang yang dipercayakan untuk menjaga dan mengkontrol mavia terbesar di negeri mavia itu. Hal ini juga menjadi ketakutan terbesar Res, selaku pimpinan tertinggi polri. Betapa tidak, ia selalu dihantui oleh pikiran akan terbongkarnya mavia-mavianya itu.
Ia selalu berusaha untuk menghilangkan rasa takutnya. Berapa kali dalam setiap perbincangan dengan sahabatnya itu, ia mencoba menyakinkan dirinya dengan bertanya kepada sahabatnya tentang kejujuran untuk selalu menjaga rahasia terbesarnya itu. Namun jawaban ia dari sang sahabat masih belum juga memuaskan dirinya. Ia masih saja takut.
Lantas ia kemudian berpikir untuk membunuh sahbatnya saja. Baginya, hidup akan merasa nyaman tatkala kunci pintu mavianya itu lenyap dari muka bumi. Tetapi ia selalu menunggu momen yang terbaik untuk beraksi dan mengeksekusi sang sahabat.
“Mas, aku menyukaimu” tuan putri berbisik dengan suara lembut dan manja di telinga Gelsen, sambil tangan kanannya merayap di atas paha Gelsen. Seketika Gelsen gugup. Ia diam. Ia tak lagi mendengar perbincangan di meja tersebut.
Kemanjaan tuan putri dalam menyampaikan perasaannya, berhasil membuat Gelsen mati gerak. Ia binggung harus bagaimana. Melihat raut mukanya yang penuh heran, tuan putri kembali dengan suara lembut dan pelan, berbisik. “Sungguh, Mas!”
Suara itu membuatnya makin melemah dan bingung. Ia melihat ke semua mata yang mengelilingi meja bundar di depannya. Matanya langsung jatuh pada suami tuan putri. Mereka saling tatap. Dan ia tidak sadar, ternyata sang suami dari tuan putri telah lama menyoroti tingkah aneh mereka.
Tatapan seketika hilang, ketika tuan putri menarik tangan Gelsen. Sang suami pun tidak mau ambil repot. Ia membiarkan hal itu, dan terus berbincang penuh gambira dengan teman-temannya di meja.
Melihat sikap sahabatnya yang tidak ambil repot dengan tuan putri, Gelsen pun berpikir bahwa, ia merelakan istrinya diambil orang. Lantas, sekarang bukan tuan putri lagi yang menggenggam tangannya, tetapi ia yang menggenggam tangan tuan putri. Bahkan ia lagi yang menarik tangan tuan putri untuk segera melangkah cepat. Dengan segala kepasrahan dan penuh manja tuan putri mengikuti langkahnya.
Tibalah saatnya, di kamar tuan putri. Gelsen langsung melakukan apa yang telah ia bayangkan sebelumnya. Ia mulai meremas-remas tubuh tuan putri. Ia tak lagi berpikir panjang. Dengan napsu yang meronta-ronta, ia berkali-kali mencium kening sang tuan putri.
Karena napsu, ia tak menyadari bahwa sebenarnya setelah hilangnya tuan putri dari meja makan sang suami ternyata mengikuti jejak mereka. Tetapi Gelsen tampaknya tak mau lama-lama mengapai tubuh tuan putri.
Setelah bosan cium-ciuman, ia kemudian memeluk erat tuan putri, lalu membawanya ke kasur. Sesampai di kasur, belum saja semua kancing baju tuan putri berhasil dilepas, tiba-tiba dengan suara keras tuan putri berteriak. Gelsen kaget dan heran. Dari mesrah-mesrahan, tiba-tiba tuan putri teriak seperti ketakutan. Ia berniat untuk menutup mulut tuan putri, agar tidak ketahuan.
Namun itu tidak membuatnya untuk terus mengeksekusi tuan putri di atas ranjang. Ia akhirnya berhenti, ketika menyadari kehadiran sosok pria berdiri di pintu sambil mengacungkan senjata.
Baca Juga: Cerpen: Datang Sebagai Pemabuk, Oleh Stefan Jehalut
Baru saja ia mau melepaskan tubuh tuan putri sepenuhnya. “HAJAR!” tuan putri memberi kode sambil mendorong Gelsen ke depan. Peluru pun meleset tepat di perut bagian kiri Gelsen. Melihatnya masih bergerak dan menjerit di bawah lantai, peluru kedua pun keluar, melayang di atas udara. Kali ini, leher menjadi korban.
Sementara itu darah semakin banyak yang keluar, sampai akhirnya nyawa melayang. Gelsen akhirnya mati tak tertolong di dalam kamar, tanpa ada jejak.
Baca Juga: Puisi: Jangan Cinta Aku Apa Adanya, Reinaldus K. Mogu
“Semuanya sudah berakhir, sayang. Rencanamu berhasil, bukan?” tuan putri berseru penuh sombong dari atas ranjang, sambil sedikit melontarkan senyum penuh sinis. “Kau kupasti akan bahagia menjalankan kehidupan di usiamu yang baru ini.” Lanjutnya. “Kupastikan juga, tidak akan ada lagi satu dua orang pun yang dapat membongkar mavia kita sayang, semunya sudah beres. Bersih. Tanpa jejak” tambahnya. “Oh, satu lagi. Selamat Ulang Tahun, yah. Ini kadohku untukmu, sayangku”. (Red.pikirindu)
Penulis adalah Seminaris Scalabrinian Ruteng. Penulis pernah menulis buku Gadis Penghuni Bumi. Sudah berapa kali meraih piagam dan piala dari berbagai lomba sastra. Penulis pernah meraih juara 2 tingkat Nasional dalam lomba cipta puisi bertema Pahlawan. Meraih juara 1 lomba menulis puisi tingkat Profinsi. Meraih juara 1 lomba cerpen tingkat SMA dan beberapa penghargaan lainnya. Saat ini penulis sedang menulis buku keduanya dengan judul Perempuan Histerik.