Ads Right Header

Buy template blogger

Child Protection: Dari Budaya Lama Menuju Budaya Baru

Ilustrasi (Sumber: pixabay)

Penulis: Faldo Mogu, Editor: Selvianus Hadun

Suatu Kecemasan

Kasus kekerasan terhadap anak-anak berusia di bawah 18 tahun tak pelak selamat dari perbincangan publik. Permasalahan demikian acapkali terjadi dalam rentetan-rentetan waktu. Selesai satu, kemudian muncul yang lain. Begitulah kejadiannya secara terus menerus dan tidak pernah berhenti. Ibarat roda yang selalu berputar mengelilingi porosnya. 

Kendati melihat realitas tersebut, tak dapat dipungkiri lagi dalam waktu mendatang keadaan akan semakin mengenting, apalagi jikalau diikuti oleh sikap masah bodoh dalam menanggapinya. Niscaya, nestapa akan selalu meliputi kita.

Itulah sebabnya seruan untuk melindung dan merawat anak-anak (child protecion) mesti dilantangkan secara lebih keras lagi, serta perlu diikuti oleh bukti nyata yang jelas, supaya kita tidak akan ditimpa nestapa secara terus menerus. Terkait dengan child protecion ini kita dapat belajar dari budaya Eropa. 

Berapa puluhan tahun silam di Eropa, relasi antara kaum yang lebih tua atau dewasa dengan anak-anak merupakan suatu hal biasa, dan tidak pernah dibayangkan akan memberi sumbangsih untuk menambahkan deretan-deretan kasus di Eropa.

Namun, nyatanya relasi tersebut kian memprihatinkan, sebab budaya relasinya cendrung menampilkan fakta memilukan. Misalnya praktik, mencabuli, memukul, dan tindakan pendiskriminasian lainnya terhadap anak-anak, yang kemudian beresiko tinggi terhadap  masa depan mereka (future). Alhasil, muncullah suatu budaya baru dari orang-orang Eropa untuk lebih memperhatikan kehidupan anak-anak. 

Hal ini dibenarkan oleh Pater Salvino, CS mantan general superior Scalabrinian, dalam suatu seminar bertajuk “Human Rights” bersama para frater Scalabrinian di Ruteng, beliau menegaskan bahwa relasi dengan anak-anak saat ini di Eropa mengalami perubahan signifikan. Dari yang biasa-biasa saja, sekarang menjadi suatu hal yang amat serius.

Dalam artian saat ini kaum yang digolongkan sebagai orang tua atau dewasa tidak lagi bertindak sewenang-wenang dengan anak-anak dalam suatu relasi sosial seperti biasanya. Pasalnya mereka juga mempunyai hak yang mesti diperhatikan, dihargai dan diakui oleh siapa saja.

Mereka mesti diperhatikan sebab seringkali jeritan mereka tidak pernah diperhatikan. Mereka perlu dibela sebab seringkali mereka tak mampu membela dirinya sendiri. Mereka perlu dihargai sebab mereka juga manusia, bukan hewan. Ketiga hal tersebutlah menjadi hal esensial mengapa relasi dengan anak-anak perlu dijaga dan tidak boleh sewenang-wenang memperlakukan mereka.

Berangkat dari fakta di Eropa tersebut, saya kemudian mencemaskan bahwa kejadian yang sama akan terjadi di Indonesia secara lebih khusus di Nusa Tenggara Timur (NTT). Fakta demikian membuat saya bergumul dalam beberapa pertanyaan; 1) Bagaimana keadaan anak-anak NTT saat ini? 2) Bagaimana budaya relasi dengan anak-anak di NTT? 3) Apa yang terjadi dengan mereka?

Potret Memilukan Di NTT

Saat ini, sadar ataupun tidak sadar, tahu ataupun tidak tahu, dunia Nusa Tenggara Timur sedang dihujani oleh berbagai kasus kekerasan terhadap anak, baik  dalam bentuk fisik maupun psikis. Sungguh disayangkan sebab kasus tersebut mengalami peningkatan dari tahun per tahunnya. 

Berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum Asiosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan NTT (LBH APIK NTT), grafik tersebut terhitung mengalami kenaikan drastis sejak pandemi tahun 2019 silam sampai saat ini. Secara logic maraknya kejadian tersebut menjelaskan secara gamblang terkait minimnya keperihatinan pemerintah umumnya dan kita khususnya dalam menciptakan lingkungan yang aman untuk perkembangan dan pertumbuhan anak-anak.

Pada tahun 2022 silam LBH APIK NTT berusaha mengkaji kasus kekerasan tersebut. Berdasarkan hasil kajian  ditemukan bahwa 87% korban kekerasan seksual ialah anak-anak yang usianya tergolong 4-17 tahun. Padahal ketika melihat data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), persentase usia produktif NTT ialah didominasi oleh anak-anak, yaitu: Untuk usia 5-9 tahun sejumlah 511.354 jiwa. 

Untuk usia 10-14 tahun sejumlah 594.709 jiwa. Serta untuk usia 15-19 tahun sejumlah 604.721 jiwa. Sementara untuk kaum dewasa dan orang tua sangat jauh berada di bawah persentase anak-anak. 

Selain itu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), NTT juga menempati posisi pertama sebagai provinsi yang mempunyai populasi anak usia dininya terbanyak yaitu 13, 96%. Kemudian diikuti oleh Sulawesi Tenggara dengan persentase 13,82% dan yang paling sedikit ialah Yogyakarta 9,26%.

Lebih lanjut direktris LBH APIK NTT Ansy D. Rihi, menegaskan bahwa terdapat tiga konsekuensional dari kekerasan terhadap anak. Pertama terdapat banyak anak yang meninggal. Kedua mengalami luka serius. Ketiga mengalami cacat fisik dan psikis. Ketiga hal ini terjadi lantaran usia korban yang masih amat terlalu mudah. Sungguh disayangkan! 

Kendati demikian, apalah jadinya nanti dunia Nusa Tenggara Timur, jika mereka yang berproduktif ditumbangkan karena kekerasan yang seringkali menimpai mereka. Lantas suatu pertanyaan muncul, Nusa Tenggara Timur mau jadi apa? Akankah NTT dapat menjadi daerah maju?

Budaya Lama

Hemat saya, melihat maraknya usia produktif yang ditumbang karena kekerasan, tak dapat dipungkiri lagi bahwa nestapa akan selalu meliputi NTT nantinya. Hal ini juga akan menyebabkan NTT terus hidup dalam jurang keterpurukan, sebab mereka (anak-anak) merupakan generasi perubahan. 

Namun, apalah dayanya jika mereka tumbang sejak kecil. Seorang psikolog Henry Murray (1954) menulis bahwa kejadian di masa kecil akan sangat mempengaruhi keberadaan seseorang pada masa dewasanya. 

Artinya, kekerasan terhadap anak saat ini akan merusak keproduktifitasannya, sehingga jelas ia tak lagi mampu menjadi generasi perubahan. Hal demikian memang tidak begitu tampak secara jelas. 

Namun saat ini sadar atau tidak, kita sedang mengalaminya, dan pasti akan lebih genting dalam waktu mendatang. Apa yang terjadi di Eropa saat ini tentu dalam tempo singkat akan kita alami. Untungnya sebagaimana yang dijelaskan oleh Pater Salvino,CS, orang-orang Eropa saat ini sudah berada pada tahap penanganan.

Mereka berusaha mentransformasi diri dari budaya lama menuju budaya baru. Dari yang awalnya memperlakukan anak-anak semaunya saja, kini lebih menghargai mereka. Melihat hak mereka sebagai manusia ciptaan Tuhan. 

Ironisnya tidak begitu dengan NTT. Masyarakat NTT masih mandek dalam zona nyaman. Budaya memperlakukan anak sewenang-wenang, seperti mencabuli, memukul dan tindakan pendiskriminasian lainnya, masih saja diberlakukan. Peribahasa lama yang mengatakan “ada emas di ujung rotan” masih kental dihidupi oleh segenap masyarakat. 

Budaya seperti inilah yang telah dijalani oleh masyarakat Eropa sejak puluhan tahun silam. Tetapi mereka sadar, hal tersebut merupakan suatu masalah besar yang akan menghancurkan kehidupan bangsa jikalau tidak ditangani. Lalu mengapa NTT tidak bisa mentransformasi seperti orang-orang Eropa saat ini?

Terkuaknya beberpa kasus kekerasan akhir-akhir ini telah menjelaskan secara gamblang bahwa masyarakat NTT masih belum peduli dengan problematik ini. Terkuaknya kasus pelecehan seksual oleh seseorang guru SMK Negeri di Ruteng, Manggarai pada awal tahun 2023, kemudian kasus pelecehan seksual  terhadap bocah 3,5 tahun di Manggarai Timur oleh seorang mantan anggota DPRD, menjadi bukti nyata bahwa budaya relasi lama telah menampilkan fakta amat memilukan (Floresa.co: 02/02/2023).

Lebih parahnya lagi, pelakunya ialah orang-orang terdekat. Mereka yang dianggap mampu menjadi ‘rumah’ untuk anak-anak, justru menjadi aktor utama dari berbagai praktik kekerasan. Kajian LBH APIK NTT membuktikan pelaku orang tua 29%, keluarga dekat 35%, pacar 20%, dan orang lain 4%. 

Data demikian membenarkan pepatah Latin yang mengatakan “cave a cane muto et aqua silenti” hati-hati dengan anjing yang tidak menggonggong dan air yang tenang. Orang tua dan orang terdekat lainnya ialah anjing yang tidak menggonggong dan air yang tenang. Mereka perlu diwaspadai. Jika orang tua saja bertindak demikian, siapa lagi yang bisa menjadi ‘rumah’ untuk anak-anak?

Menuju Budaya Baru

Praktik memilukan tersebut mendorong kita untuk segera mengantisipasi permasalahan ini. “Make the world a homeland for everyone” jadikanlah dunia tanah air bagi semua orang. Demikianlah kalimat ajakan dari Santo John B. Scalabrini untuk mendorong segenap umat manusia agar lebih memperlakukan manusia seperti manusia. 

Dalam konteks child protection kalimat tersebut mengajak kita  untuk mentransformasi diri dari budaya lama menuju budaya baru. Budaya yang lebih menghargai keberadaan hak-hak anak. Budaya yang memperlakukan anak dengan penuh cinta. Bukan dengan kekerasan. Bukan dengan tindakan pemerkosaan ataupun tindakan pendiskriminasian lainnya.

Dalam budaya baru ini kita mesti tahu diri; “siapa saya di mata anak-anak?” Menarik ada peribahasa Latin mengatakan “nosse te upsum”¬ kenali dirimu sendiri. Dalam budaya baru ini, kita diajak untuk lebih tahu diri. Ketika saya sebagai orang tua apa yang mesti saya buat untuk anak-anak? 

Ketika saya seorang guru apa yang saya buat? Ketika saya kakak atau pacar atau teman ataupun sahabat, apa yang saya buat? Pertanyaan demikian hemat saya dapat membantu kita dalam memposisikan diri dalam mengembangkan relasi dengan anak-anak.

Dengan mengenali diri sendiri dan tahu memposisi diri, maka kasus kekerasan terhadap anak akan diminimalisir bahkan tak akan ditemukan lagi. Santo Agustinus pernah menulis bahwa  dengan mengenali diri sendiri, kita akan mampu menemukan arah perjalanan kita, dari mana kita datang dan ke mana kita pergi. 

Dengan demikian kepedulian kita dengan anak-anak akan mengental tatkala mengetahui siapa Anda di mata anak-anak dan ke mana Anda akan membawa mereka. Semakin kita mengenali diri sendiri, semakin kita menjadi ‘rumah’ bagi anak-anak. (Red.pikiRindu)


Penulis adalah Seminaris Scalabrinian Ruteng

Previous article
Next article

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel