Ads Right Header

Buy template blogger

Puisi - Puisi Kritik: Jelang Masa Berlalu (Bagian Pertama)

Foto Ricardus Jundu (sumber background: pixabay.com)

Kumpulan Puisi Kritik Sosial

Nama Tanpa Karya

Jangan sampai ragamu tak berguna

Hidupmu hanya nama tanpa karya

Bagaimana mungkin kamu begitu?

Kamu menjadi boneka penguasa

Kamu hanyalah alat belaka

Modal kerakusan yang berkuasa

Kapan saja bisa dibuang

Ditendang sampai melayang

Lalu jatuh ke jurang

Cerdaslah!


Kawasan Hutan Beton

Rimbanya hutan tak nampak lagi

Yang tersisa hanya rimba buatan

Empunya sang penguasa

Sungguh megah dan kokoh


Habislah anak cucuku

Rimbanya berlalu termakan waktu

Apa lagi yang harus diceritakan?

Hanya menambah luka hatinya


Tiang beton menjadi ramai 

Seakan hendak menangkap langit

Tapi, tak kunjung dapat

Lalu, terus berusaha lebih tinggi


Habislah anak cucuku

Hanya menikmati sejarah jejak masa lalu

Bahwa tanahnya pernah menjadi surga

Nirwana bagi makhluk bernyawa


Habislah anak cucuku

Habislah mereka semua

Masa depan cucuku menjadi layu

Dunianya bukan lagi nirwana


Manusia Bukanlah Robot

Rangkaian kata disusun rapih

Ribuan metode dalam teori

Regulasi dibalut kepentingan

Aku diciptakan bagai robot


Aku punya otak untuk bernalar

Aku juga punya hati untuk bersikap

Jangan kau jadikan aku mesin

Aku, kau atur dengan regulasi berbelit-belit


Di sini, aku duduk di bangku usang

Hanya bisa menulis di atas secarik kertas

Lalu, dipaksa untuk belajar dengan riang

Dituntut  menjadi cerdas dengan fasilitas terbatas


Aku bukan robot

Aku manusia berbobot

Poles saja aku agar bisa mengenal diri

Bantu saja aku agar menjadi diri sendiri


Lalu, biarkan aku berdiri di atas kakiku sendiri

Belajar Mandiri

Membangun diri agar bisa berdikari

Berkarya bagi negeri


Sang Penipu

Wahai penipu berbaju rapih

Kau datang lagi, bercanda manis

Rayumu jadi rasa yang pedis

Kami masih punya akal yang bersih


Lima tahun sudah berlalu

Kemana saja kau pergi

Saat itu, di sini menjadi sepi

Sunyi, dalam hidup yang kelabu


Lihatlah sekarang wahai penipu

Lihatlah semua wajah kusam penuh lesu

Tak ada yang bahagia seperti dulu

Sama seperti pertama kali kau datang waktu itu


Semua tertipu janji manismu

Sehingga kini tersisa namamu yang busuk

Bau dan basi walau kau berdasi

Enyah saja kau yang tak tahu berterima kasih



Sebungkus Nasi

Di sudut kota

Di bawah rimbunnya jembatan layang

Deretan lelaki dan wanita diam tanpa kata

Pikiran mereka melayang


Sampai waktu terus berlalu hingga sore

Tampak gemerlapnya cahaya kota

Ada tangis kecil di balik gardus yang diterangi pelita

Itu tentunya bukanlah kumpulan sampah

Itu adalah seorang anak yang lupa kapan terakhir kali dia makan


Nasinya dicuri kucing liar yang nekat

Hanya air mata dan suara tangis yang keluar dari mulut kecilnya

Satu pun remah tak ada, semuanya dibawah pergi

Untungnya mereka sudah terbiasa tanpa nasi


Terdengar rayuan lembut sang ibu

Gadis kecilku yang manis, bertahanlah

Esok ada bantuan nasi bungkus dari penguasa

Sebentar lagi mereka datang mengemis suara kita


Gadis kecil itu perlahan mulai diam

Termakan rayuan ibu berwajah lesu

Harapan besarnya hanyalah mimpi sebungkus nasi

Akhirnya,  malam itu terasa paling lama waktunya dari kebanyakan malam lainnya


Ruteng, September - Oktober 2022

Ricardus Jundu

Penulis merupakan orang yang suka karya sastra dan seni, pegiat usaha mikro yang bergerak di ekonomi kreatif-bisnis digital dengan nama usahanya Flores Corner (naiqu, cemilan santuy, dan JND desain), serta pengajar di Unika Santu Paulus Ruteng. Hasil tulisan penulis sudah banyak dipublikasikan di berbagai media cetak dan online. 

@Red.pikiRindu

Previous article
Next article

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel