Ads Right Header

Buy template blogger

Scalabrini Sang Motivator

Gambar Santo Scalabrini

Penulis: Randy Rasman; Editor: Yati Kabut

“Aku termenung di bawah bangunan tua

mencari arti kehidupan

rasanya tak ada guna 

hidup tanpa sang motivator kehidupan”

PIKIRINDU.com- Mencintai bukanlah hal yang baru bagi saya. Mencintai telah saya rasakan sejak kecil hingga sekarang ini. Namun, mencintai kali ini memiliki aura yang berbeda dengan yang dulu. Dulu mencintai hanya pada seseorang yang memberikan kenyamanan semata, seperti mencintai seorang pacar dan keluarga. 

Mencintai seorang pacar atau perempuan adalah sesuatu yang amat manusiawi. Karena manusia pada galibnya membutuhkan kasih dan sayang dari manusia lain, terutama dalam menapakai hidupnya di dunia yang fana ini. Hal inilah yang mengindikasikan manusia sebagai makhluk sosial (homo socius). 

Manusia tidak bisa hidup sendirian tanpa manusia lain. Namun, mencintai bukanlah hanya pada perempuan dan pada romantisme saja. Karena kata mencintai memiliki arti yang pluralitas dan tertuju pada setiap manusia tanpa memberikan spesifikasi pun, seperti saling menghormati, menghargai, peduli, membantu merupakan bagian dari cinta. Cinta semacam demikian tidak ada batasannya, ia mencakupi semua kalangan.

Tidak dapat dipungkiri juga bahwa banyak orang mencinta bukan hanya pada apa yang kita lihat, namun apa yang kita rasakan dan ketahui. Artinya bahwa perasaan cinta ini juga bisa bertumbuh dengan orang-orang yang tidak pernah kita lihat dan jumpai di mayapada. 

Kita hanya melihatnya pada gambar dan menemukannya dalam mimpi. Tetapi kita mengetahui segalanya tentang dirinya. Hal inlah yang saya rasakan saat ini, yakni mencintai seorang motivator. Motivator itu adalah Santo Yohanes B. Scalabrini, pendiri kongregasi Scalabrinian, yang baru saja dikanonisasi menjadi santo pada tanggal 9 oktober 2022. 

Beliau adalah seorang uskup Piacenza. Dia mendirikan kongregasi Scalabrinian pada 28 november 1887. Dengan tujuan untuk melayani para migrant, pengungsi dan pelaut. Hal ini dikarenakan keprihatinannya terhadap kaum miskin dan kategorial yang sangat membutuhkan pelayanan dari seorang imam. Karena pada waktu itu, terjadi merebaknya revolusi industri yang merusak tatanan kehidupan masyarakat di Eropa dan berimplikasi pada dunia luas. Kehidupan masyarakat berada dalam zona keterpurukan. 

Hal ini disebabkan krisis ekonomi yang amat massif terjadi di Eropa, yang membuat masyarakat di Eropa mengalami kelaparan besar. Mereka seakan berada di titik rendah dalam sebuah pengharapan, yang mengaharuskan mereka untuk bermigrasi ke negara lain untuk mencari kehidupan baru dan agar kehidupan tetap survive. Namun, dalam proses migrasi tersebut banyak kisah pilu yang mereka hadapi. Sampai-sampai mereka meyerukan sebuah seruan ‘’kirimkan kami seorang imam, sebab di sini kami mati bagai hewan (send us the priest, because here we died like animal)’’. 

Kepeduliannya terhadap realitas sosial tersebut membuat Scalabrini termotivasi untuk membangun suatu kongregasi yang secara khusus melayani para migrant, pengunsi dan pelaut. Hal ini seperti sebuah kalimat dalam kitab suci ‘’ketika aku seorang asing, kamu memberi aku tumpangan’’(bdk Mat 25:35). 

Kalimat ini Scalabrini jadikan sebagai acuan untuk melayani para migrant, pengunsi dan pelaut. Sehingga dia acapkali disebut sebagai ‘’Bapa para migrat dan Rasul katekismus’’. Hal ini dikarena suatu kalimat yang dekat dengan dirinya ‘’we are all migrants, our home is not on earth, it is in heaven’’. Selain itu, dia juga dikenal sebagai orang yang rendah hati. Sehingga Scalabrini mencetuskan moto kongregasinya ‘’kerendahan hati (humilitas). 

Meskipun pada awal berdirinya kongregasi, Scalabrini memiliki begitu banyak tantangan, seperti mencari imam untuk membantunya untuk melayani misi dan melatih imam-imam diosesan yang hendak mau bergabung dengan kongregasi yang Scalabrini dirikan untuk meninggalkan kebiasaan hidupnya sebagai imam diosesan dan melatih diri untuk menjadi seorang imam misionaris. 

Dengan meminta seorang imam Jesuit untuk memberikan pembekalan. Fokus awal pelayanan adalah hanya pada migrant yang berasal dari Italia saja. Tantangan-tantangan tersebut bukan suatu penghalang atau penghambat bagi Scalabrini, tetapi malah menjadi api yang membakar semangatnya untuk terus berjuang membangun misinya, sehingga kongregasi Scalabrinian tetap eksi, kokoh dan menyebar kebeberapa negara di dunia, termasuk Indonesia.

Habitus hidup dan kepeduliannya terhadap realitas solial Scalabrini yang begitu luar biasa, membuat saya jatuh hati dengannya. Perasaan cinta itu muncul bukan lagi cinta yang memberikan romantisme semata, melainkan cinta yang memberikan kekuatan serta jalan yang sangat berfaedah untuk prospek kehidupan saya, seperti mengikuti kebiasan hidupnya agar bisa menjadi manusia yang bijaksana (homo sapiens), berbudi baik dan menjadi kompas untuk melayani semua orang. 

Memang, jika kita berpikir secara rasional, tentunya sangat irasional jika mencintai seseorang yang tak pernah kita temui secara langsung. Namun, perlu diketahui bahwa mencintai itu bukan hanya mengenai suatu pertemuan, tetapi mengenal dan mengetaui adalah cinta yang sejati. 

Hal ini karena jika kita mengenal dan mengetahui kisah-kisah tentang seseorang yang kita cintai, tentunya menjadi sesuatu yang amat urgen untuk dijadikan kompas bagi hidup kita, apalagi jika kisah-kisah dari orang tersebut memiliki nilai yang konstruktif dan patut untuk dijadikan kompas. Sehingga sangat rasional untuk mencintai seorang motivator. 

Mencintai seorang motivator merupakan sesuatu yang amat baru bagi hidup saya. Karena baru kali ini saya mengalami perasaan cinta yang paradoks jika ditilik dari saya sebagai seorang laki-laki. Hal ini karena laki-laki pada galibnya hanya mencintai perempuan, yang selalu memberikan cinta dan kasih sayangnya secara konkret. Bukan ilusi. 

Berbeda dengan saya sekarang ini, yang mencintai seorang motivator dengan penuh wujud ilusi, karena saya tidak pernah melihatnya secara langsung. Saya hanya melihat dan mengenalnya melalui gambar dan story hidupnya saja. 

Tetapi perasaan cinta itu sebenarnya bukan hanya ditilik dari paras yang begitu cantik , ganteng dan keromantisan. Namun, melihat apa yang ada dibalik parasnya itu yakni habitus hidupnya. 

Banyak orang yang mencintai bukan karena paras, namun apa yang dibalik parasnya tersebut, seperti habitus hidup. Habitus hidup mestinya menjadi suatu kompas bagi hidup kita, agar kita bisa hidup dengan baik. Namun, habitus hidup yang perlu kita imitasi adalah habitus hidup yang bersifat positif dan konstruktif, sebab jika tidak, kita akan mengalami disoreintasi terutama dalam perjalanan hidup kita di dunia yang fana ini. 

BACA JUGA:

* Bunda Maria: Teladan Mengikuti Yesus

* Fenomena Money Politic di Negara Demokrasi Jelang Pemilu

Hal ini telah saya alami saat ini bahwa saya mencintai seseorang dengan menilik dari habitus hidup. Hal ini karena seorang motivator saya tersebut adalah seorang yang rendah hati (humble), peduli terhadap sesama. Hal-hal itulah yang membuat saya sangat jatuh hati dengannya, dan saya akan jadikan habitus hidupnya sebagai kompas untuk hidup saya kedepannya. 

Untuk itu juga, marilah kita semua mencintai seorang motivator kita dengan cara menimitasi habitus hidup mereka untuk dijadikan kompas hidup. (Red.pikirindu


* Tulisan ini dikonstruksi untuk mengenang kematian sang motivator (Scalabrini), pada 1 Juni 1905.

Penulis merupakan seminaris Scalabrinian

Previous article
Next article

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel