Ads Right Header

Buy template blogger

Cerpen: Ibu dan Pesan Terkhir, Karya Safry Dosom

Ilustrasi (Sumber: pixabay)

Penulis: Safry Dosom; Editor: Ricardus Jundu

PIKIRINDU.com- Aku biarkan air mataku terus mengalir. Rasa rindu dan rasa hampa telah berpadu menjadi satu yang membuat diriku sulit untuk aku kendali. Merindukan sosok ibu yang selama ini aku anggap berarti dalam hidupku untuk memeluku kembali, membuatkanku kopi yang aromanya begitu wangi, melayani dan menyambut aku seperti seorang anak kecil lagi. 

Aku ingin dia hadir kembali, membelai rambutku ketika aku sedang tidur di pangkuanya. Namun, ternyata itu tidak seperti yang aku pikirkan lagi. Di sini aku hanya menemukan sunyi yang kerapkali membawaku kembali untuk mengingat semua episode yang telah aku lalui dalam hidupku. Episode yang terus aku ingat namun takan bisa aku ulang kembali.

Tadi siang, aku hanya disambut oleh pintu yang telah membisu. Menegur pun tidak. Yang aku temukan hanyala luka yang menariku untuk merasakan kembali rasa sakit yang mencekam hatiku. Di telingaku tidak mendengar lagi sapaan hangat dari mulut tua yang wajahnya nampak cerah saat melihat buah hatinya telah pulang. 

Kata "Nana" yang sebelumnya sering aku dengar dari pintu itu telah ikut  terkubur bersama tubuh tua itu. Saat kakiku melangka untuk masuk ke dalam rumah mataku langsung menatap sebuah foto yang ditata rapi di samping gua Patung Bunda Maria. 

Saat itu aku kembali mengingatnya. Foto itu tidak menyapaku. Diam dan menatapku tanpa henti. Kemudian dengan cepat kusambangi lorong menuju dapur dan di dalam hati penuh yakin akan kutemukanya kembali di depan tungku api yang menjadi tempat yang baik di saat menceritakan semuah pengalaman yang telah kami lalui. Ternyata tidak. Lagi-lagi pikiranku salah. 

Hatiku takan menyerah sampai di situ. Satu-satunya harapanku lagi ialah mengunjungi tempat yang penuh dengan tumbuhan mawar dan berbagai macam bunga lainnya. 

Dan sebelumnya tempat itu jarang dan takut aku kunjungi, karena sejak kecil aku sering mendengar cerita ibu bahwa di sana telah menjadi rumah bagi orang yang telah meninggal dan menjadi tempat keabadian di mana manusia kembali lagi menjadi debu. 

Di sana kemabali tangisanku menjadi-jadi setelah mataku melihat ukiran indah yang melukiskan wajah perempuan tua dan di bawah lukisan itu tertulis “RIP,  Mama Maria Susul”. Nafasku memburu dan tubuhku serentak menjadi kaku setelah melihat tulisan itu. 

Perlahan aku berjalan dengan kaki yang serentak bergetar untuk memeluk nisan itu. Ternyata benar ia telah pergi ke alam yang abadi dan ia hanya menitipkan debunya di taman ini.  

Hatiku kembali terluka. Hasratku sebelumnya jika aku mengambil waktu liburan begitu semangat dan bahagia, karena saat itu aku akan merasakan pelukannya lagi. Aku merasa betah tinggal bersamanya. 

Bagiku ibu adalah segalanya. Ia adalah rumah tempatku untuk pulang. Tempatku untuk melepas segala lelah. Tempatku untuk mencurahkan semua isi hatiku. Namun, kali ini hasratku untuk pulang terhalang oleh ketakutanku untuk merindukan dan menginginkanya kembali. 

Saat ini aku terus berjuang untuk melawan rasa sakit dan rindu yang mungkin takan pernah usai. Tetapi dengan kuat aku tetap berjuang dan berusaha untuk menyebukan lukaku serta berusaha untuk mengingkalaskannya pergi. 

Di dalam doaku aku selalu persembahakan segala luka kepada Dia yang aku percaya sebagai penyembuh segala luka.

Pikiran Terus Menghantuiku

Setelah kepergianya, semua pengalaman yang aku lalui sangat jauh berbeda seperti sebelumnya. Aku merasa hampa. Seperti orang gila yang kerjanya tak jelas entah ke mana ia pergi. Semangatku juga begitu lemah. Semua mimpiku seakan hancur berkeping-keping dan hal itu membuat aku merasa bingung untuk melanjutkanya kembali. 

Aku telah dihantui oleh pikiranku dan hal itu membuat hatiku kembali terluka jika aku kembali mengingatkannya. Rasa penyesalan juga terus menggebuh dalam diriku. Jika aku tidak memilih dan melalui jalan ini, mungkin ibu tidak akan pergi secepat ini, demikian pikirku. 

Dalam kesedihan itu, aku masih menempatkan diri untuk membaca dan menulisakan semua pengalamanku setiap hari. Setelah menulis aku juga merenungkan apa yang telah aku tulis. Tanpa sengaja, tanganku mengambil buku harian di tahun 2022 yang lalu. Setelah aku membukanya hatiku kembali pada semua episode yang telah aku lalui bersama ibu. 

Di akhir halaman buku itu aku menemukan kembali tulisanku yang begitu rapi. Sejenak kemudian aku langsung mengingat bahwa tulisan itu adalah pesan ibu yang ia sampaikan setelah kami merayakan pesta natal pada tanggal 25 Desember 2022. Saat itu aku merasa terberkati setelah mendengar kata-kata ibu yang penuh bijak itu. 

Ia menyampaikan pesan itu dengan lembut dan air matanya juga ikut mengalir bersama kata-katanya. Sama sekali aku tak pernah berpikir apa arti dari pesan itu. Aku tulis pesan itu seperti puisi dan judul yang aku tulis untuk pesan itu adalah “Pesan Ibu Yang Selalu Hidup.”

Pergilah di mana Dia membawamu, Anaku.

Jangan biarkan jubahmu diseret debu yang masi mengawang di atas tanah yang masih hampa ini.

Biarkan Aku dan Ayahmu dibakar mentari.

Setelah sehari menghabiskan waktu di atas bukit batu,

Kami akan menari,

Memadahkan pujian

Setelah sehari kau telah bernyanyi,

Menghidupkan janji kepada Dia yang terkadang engkau tak mengerti.

Dia adalah kehidupan, 

Cinta dan ketenangan,

Yang membuat dirimu dibentuk.

Menjadi pengantara, untuk membawa pelita bagi insan yang masih tersesat.

Biarkanlah jubahmu tetap mewangi,

Memancarkan kemuliaan surgawi.

Demikian bunyi pesan itu. 

Sering kali air mataku tak bisa aku tahan jika aku membacakannya berulang kali. Kata-kata itu terus mengajakku untuk berpikir menarik makna disetiap kalimat yang ia ucapkan. 

Pesan itu sering membuat hatiku kembali terluka, tetapi pada saat yang sama membuat hatiku tetap kuat dan berusaha untuk terus berjuang dalam menggapai mimpi yang telah aku bangun bersamanya. Aku tidak mau hatinya juga terluka di sana setelah aku memutuskan untuk tidak membagunkannya kembali mimpi itu. 

Tuhan sesadis inikah cara-Mu mengambilnya tanpa sepengetahuanku? 

Pada tanggal 4 Februari 2023, aku menyadari apa yang ia ucapkan itu bukan pesan biasa. Pesan itu soal hidup dan panggilan yang telah aku pilih. Dan ternyata pesan itu menjadi pesan yang terakhir untuku. Pada pukul 05:30, sebelum mentari menerangi kembali cakrawala, aku ditelpon untuk segera pulang. Hati mendadak kaku mendengar hal itu. 

Serentak harapanku hilang seperti seseorang yang menerima pukulan secara tiba-tiba. Aku segera pulang untuk memeluk tubuh yang tak lagi bernyawa. Menyebut nama yang telah tiada. 

Tuhan sesadis inikah cara-Mu mengambilnya tanpa sepengetahuanku? Dan secepat inikah engkau menghancurkan rumahku yang selama hidupku menjadi tempat yang paling baik untuk mencurahkan isi hatiku? 

Saat itu, aku sama sekali tidak menerima dan mengiklaskan kepergianya secara tiba-tiba itu. Aku mendadak diam, karena apa yang telah aku rencanakan dan aku bangun telah hancur seketika. Mimpiku untuk ada bersamanya dalam menerima jubah yang aku rindukan itu telah sia-sia. 

Mimpi untuk menerima berkat dan tumpanga tanganya di kepalaku dalam perayaan tabisan menjadi seorang imam sama sekali sudah pergi. Dalam hatiku terus mempersalahkan Tuhan, dengan caranya yang begitu sadis mengambilkanya tanpa persetujuanku.

Sebelum acara pemakamanya dimulai di depan tubuh yang telah kaku itu kembali dengan nada yang keras dan terputus-putus akau berusaha untuk membacakan lagi pesan yang ia sampaikan pada perayaan natal itu. 

Mereka semua yang berada di samping tubuh yang kaku itu menangis dengan keras setelah mendengar pesan itu dan mereka mememeluku dengan erta. 

Nana, Mama sudah dilahirkan kembali dan telah mendapat tempat yang layak dalam Firdaus” demikian kata Oma Ria dengan suaranya melemah berusaha menghiburku. 

“Jangan biarkan pesan Ibumu hancur bersama kesedihan itu, ia selalu hidup bersamamu lewat semua pesan itu” lanjut Ayah yang berusha menghiburku. Hatinya juga terluka seperti yang aku alami, namun ia berusaha untuk tetap kuat untuk menghiburku. 

Sehari setelah acara pemakamanya berlangsung, hatiku masih kaku dan dingin. Dalam hatiku terus merenungkan bahwa mungkin semua rencana yang telah aku banggun bersamanya akan ikut terkubur bersama tubuh itu. 

Pesan ibu yang dulunya membuatku merasa semangat telah sia-sia. Dalam hatiku berpikir mungkin aku takan bisa melanjutnya lagi tanpa kehadiran ibu yang dengan penuh cinta mendukungku. 

Nana, kapan kamu kembali lagi ke Biara?” tanya Oma Ria dengan tenang.

Sama sekali aku tidak menjawabnya. 

“Bersabarlah Nana, kuatkanlah hatimu. Kesedihan akan membuatmu menjadi lemah. Jangan biarkan air matamu jatuh dengan alasan yang kurang baik dan jangan biarkan dirimu terus dikuasi oleh semua pikiran yang membuatmu kehilangan harapan. Ingat! kematian hanyalah soal waktu dan kita semua pasti akan mati seperti Ibumu.”

“Aku akan melanjutkannya lagi jika Ibu kembali kepadaku!” demikian jawabku sepontan.

“Pergilah Nana, seperti yang telah dikatakana oleh Ibumu. Kejarlah mimpimu. Jangan kamu abaikan pesan itu. Nanti kamu akan menemukan kebahagiaan yang kamu rindukan dan suda pasti dari alam yang abadi ibumu juga ikut bahagia bersamamu.”

Sejenak aku diam dan mataku menatap foto ibu yang tersimpan rapi di samping gua patung Bunda Maria di ruangan tamu itu.

Aku menarik napasku pelan-pelan dan mencoba untuk tetap tenang.

“Aku akan melanjutkan pilihanku. Mungkin benar apa yang mereka katakan ibu tidak selamanya bersamaku. Ia hanya mendukung tapi tidak ikut berjuang bersamaku” demikian aku membatin.

Aku berjuang untuk mewujudkan mimpi

Setelah lukaku perlahan mulai sembuh, sekarang aku mencoba membalas pesan ibu dalam segala perjuanganku. Semua yang aku miliki akan aku persembahkan kepada Tuhan lewat doa dan baktiku.

“Ibu. Di sini aku terusu berjuang apa yang telah kita rencanakan itu. Aku berjuang untuk terus membangun semua mimpi yang telah kita sepakati bersama. Akan ada saatnya jubahku terus mewangi sampai kepadamu.

BACA JUGA:

* Cerpen Part 1 || Curhatan Hati Dalam Dunia Ilusi

* Cerpen: Kado Ulang Tahun, Karya Faldo Mogu

* Jelang Natal 2021, Alasan Maria Kunjungi Elisabet Barulah Terkuak

Aku menuliskan ini karena aku tak ingin mengecewakanmu. Aku hanya ingin membuatmu bahagia dan bangga melihat anakmu yang mempersembahkan segalanya kepada Tuhan. Saat ini, di rumah Tuhan,  aku selalu selipkan namamu dalam setiap doaku”, demikian isi suratku yang selalu aku bacakan dalam sepihku. (Red.pikirindu)

Maumere, Mei 2023.


Penulis merupakan seminaris Scalabrinian Nita-Maumere yang lagi studi filsafat.
Previous article
Next article

Ads Atas Artikel

Ads Tengah Artikel 1

Ads Tengah Artikel 2

Ads Bawah Artikel